VIVAnews - Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak sependapat dengan imbauan Nahdlatul Ulama (NU) yang mengimbau agar ulama tidak menyalatkan jenazah koruptor.
Bagi MUI hukum menyalatkan jenazah bagi koruptor beragama Islam hukumnya fardhu kifayah, wajib dikerjakan meski oleh sebagian muslim.
"Orang Islam itu tetap harus disalatkan. Kalau tidak ada yang salatkan, dosa kita," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam perbincangan dengan VIVAnews, Kamis 19 Agustus 2010.
"Orang Islam itu tetap harus disalatkan. Kalau tidak ada yang salatkan, dosa kita," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam perbincangan dengan VIVAnews, Kamis 19 Agustus 2010.
Bila tidak ada satu pun muslim yang menyalatkan jenazah si koruptor, maka satu kampung tempat tinggalnya akan berdosa.
Maka itu, MUI menyayangkan imbauan yang dikeluarkan NU itu. MUI menilai, bila ingin menjerakan koruptor tidak dengan cara seperti itu.
"Jangan kita keras pada soal itu. Jangan kemudian tidak disalatkan. Tetapi, urus bagaimana cara menghukumnya di penjara. Itu (imbauan NU) tidak relevan," sesal Ma'aruf.
MUI sendiri sudah mengeluarkan fatwa yang lebih memberikan solusi, terutama dalam kasus-kasus korupsi, yakni fatwa pembuktian terbalik atas harta para pejabat.
Metode pembuktian terbalik dilakukan bila dalam penyidikan suatu kasus korupsi, penuntut belum memiliki data-data yang akurat. Tapi pejabat terlihat memiliki kekayaan tidak wajar dari yang semestinya. Jadi, si pejabat itu harus membuktikan bahwa hartanya itu sah.
"MUI sudah maju pakai pembuktian terbalik untuk menjebak si koruptor supaya bisa dijerat. Si pejabat itu harus membuktikan dia dapat harta darimana. Kalau meninggal, ya tetap disalatkan," ujar Ma'ruf.
Imbauan ini disampaikan Sekretaris Jenderal Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Malik Madany. Menurut Malik, para ulama diimbau tidak menyalatkan jenazah koruptor yang meninggal dunia. Alasannya, korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
"Para koruptor itu tidak perlu disalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang mensalatkannya," kata Malik Madani dalam peluncuran buku 'Koruptor itu Kafir' semalam.
Maka itu, MUI menyayangkan imbauan yang dikeluarkan NU itu. MUI menilai, bila ingin menjerakan koruptor tidak dengan cara seperti itu.
"Jangan kita keras pada soal itu. Jangan kemudian tidak disalatkan. Tetapi, urus bagaimana cara menghukumnya di penjara. Itu (imbauan NU) tidak relevan," sesal Ma'aruf.
MUI sendiri sudah mengeluarkan fatwa yang lebih memberikan solusi, terutama dalam kasus-kasus korupsi, yakni fatwa pembuktian terbalik atas harta para pejabat.
Metode pembuktian terbalik dilakukan bila dalam penyidikan suatu kasus korupsi, penuntut belum memiliki data-data yang akurat. Tapi pejabat terlihat memiliki kekayaan tidak wajar dari yang semestinya. Jadi, si pejabat itu harus membuktikan bahwa hartanya itu sah.
"MUI sudah maju pakai pembuktian terbalik untuk menjebak si koruptor supaya bisa dijerat. Si pejabat itu harus membuktikan dia dapat harta darimana. Kalau meninggal, ya tetap disalatkan," ujar Ma'ruf.
Imbauan ini disampaikan Sekretaris Jenderal Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Malik Madany. Menurut Malik, para ulama diimbau tidak menyalatkan jenazah koruptor yang meninggal dunia. Alasannya, korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
"Para koruptor itu tidak perlu disalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang mensalatkannya," kata Malik Madani dalam peluncuran buku 'Koruptor itu Kafir' semalam.
0 komentar:
Posting Komentar